– Kajian bersama terbaru mengindikasikan bahwa pendanaan publik untuk perubahan iklim di Indonesia cenderung selaras dengan prioritas nasional, termasuk Rencana Aksi Nasional Penurununan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Kajian Lanskap Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia tersebut mengidentifikasi kesempatan yang ada untuk meningkatkan penyaluran dan pencairan dana perubahan iklim di tiap jalur pendistribusian sehingga pendanaan yang ada dapat mencapai skala yang ditargetkan.
– Kesenjangan informasi yang signifikan menimbulkan kesulitan untuk memahami seberapa besar pendanaan yang mengalir ke dan dimanfaatkan oleh pengguna akhir; yakni di mana sebagian besar kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan dilaksanakan.
– Dari segi tata kelola, Green Climate Fund dapat menarik pembelajaran dari pengelolaan dana pada kerjasama bilateral, di mana pendanaan dapat terealisasi dengan lebih baik.
BALI – Dalam beberapa tahun terakhir, kepentingan Indonesia dan dunia internasional terkait pengendalian emisi gas rumah kaca telah menghasilkan belanja publik yang signifikan untuk pendanaan perubahan iklim di Indonesia – mencapai Rp 8,4 trilyun (USD 951 juta) pada tahun 2011, menurut hasil kajian terkini. Kajian bertajuk “Lanskap Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia” yang dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dan Climate Policy Initiative menyajikan inventarisasi paling komprehensif mengenai pendanaan perubahan iklim oleh sektor publik di Indonesia saat ini.
Secara keseluruhan, pendanaan baik dari sumber domestik maupun internasional telah selaras dengan sektor prioritas dan rencana nasional Indonesia terkait perubahan iklim, seperti misalnya RAN-GRK. Beberapa sektor yang paling berpotensi menimbulkan emisi menjadi penerima terbesar aliran pendanaan perubahaan iklim pada tahun 2011, seperti kehutanan (41%), energi (19%), pertanian dan peternakan (10%), transportasi (9%), serta sampah dan air limbah (7%).
Pemerintah Indonesia menyumbang pangsa terbesar dari pendanaan perubahan iklim publik, menyalurkan sedikitnya Rp 5,5 trilyun (USD 627 juta) atau 66% dari total pendanaan yang ada. Selain itu, mitra pembangunan internasional juga memberikan tambahan dana publik sebesar Rp 2,9 trilyun (USD 324 juta). Dana publik ini digunakan untuk mendukung Indonesia mencapai sasaran untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% dibandingkan skenario bisnis seperti biasa (business-as-usual) pada tahun 2020, atau sebesar 41% dengan dukungan mitra pembangunan internasional.
Sejauh ini pendanaan dari sumber-sumber pembiayaan internasional masih belum optimal, sehingga diharapkan Green Climate Fund (GCF) dapat menarik pembelajaran dari pengelolaan dana yang bersumber dari kemitraan bilateral
Pada tahun 2011, realisasi pendanaan oleh mitra-mitra pembangunan internasional lebih rendah dari komitmen semula. Sementara itu, pendanaan bilateral mengalir lebih lancar dan membukukan 90% dari total pendanaan internasional. Tata kelola yang mempertimbangkan keselarasan prioritas perencanaan pembangunan nasional Indonesia dengan kepentingan pendanaan mitra pembangunan bilateral menjadi salah satu penyebab lebih lancarnya aliran dana tersebut.
“Diskusi yang sedang berlangsung di kalangan direksi dan pimpinan puncak GCF dalam mematangkan tata kelola GCF Green Climate Fund dapat menarik pembelajaran dari hasil kajian ini” ujar Dr. Irfa Ampri, Kepala Pusat Kebijakan Perubahan Iklim dan Pendanaan Multilateral, Kementerian Keuangan. “Laporan kajian menunjukkan bahwa sumber daya publik internasional dan nasional memainkan peran yang saling melengkapi dalam mendukung prioritas-prioritas nasional. Membangun kerangka tata kelola yang efektif untuk mendorong kerja sama antara mitra pembangunan internasional dan nasional dapat meningkatkan akses terhadap sumber pendanaan dengan tetap memperhatikan kepemilikan nasional,” katanya.
Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memahami sejauh mana mekanisme transfer yang sudah ada dapat digunakan untuk meningkatkan aliran dana ke pemerintah daerah, dan apakah rancangan mekanisme yang lebih spesifik dapat meningkatkan pembiayaan untuk kegiatan terkait perubahan iklim di daerah.
“Kabar baiknya ialah pendanaan publik untuk kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim di Indonesia sudah baik. Kami juga menduga bahwa pendanaan tersebut akan terus meningkat seiring dengan dimplementasikannya kebijakan-kebijakan yang mendukung pelaksanaan kegiatan-kegiatan terkait perubahan iklim tersebut,” ujar Jane Wilkinson, Direktur Climate Policy Initiative.
“Namun, analisa kami mengindikasikan bahwa masih terdapat pendanaan perubahan iklim yang belum berhasil dicairkan di Indonesia. Sangat penting untuk mengatasi hambatan yang ada agar sumber daya berharga ini dapat dimanfaatkan secara optimal untuk membantu Indonesia mencapai target penurunan emisi dan pertumbuhan ekonominya yang ambisius. Baik kontributor nasional maupun internasional memiliki peran masing-masing untuk mengatasi hal ini.”
Pemetaan pendanaan publik untuk perubahan iklim yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan Climate Policy Initiative (CPI) merupakan sesuatu yang baru. Ini merupakan kali pertama CPI melakukan pemetaan di negara berkembang, setelah sebelumnya berpengalaman melakukan pemetaan pendanaan perubahan iklim di tingkat global dan nasional di negara-negara lain. Kajian ini menyediakan informasi yang penting, tidak hanya mengenai aliran pendanaan perubahan iklim publik di Indonesia saat ini, namun juga mengenai kendala-kendala yang ada dalam melacak dan mengumpulkan informasi tersebut.
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut silakan kunjungi: www.ClimatePolicyInitiative.org
Climate Policy Initiative (CPI) adalah sekelompok analis dan penasihat yang berupaya untuk meningkatkan efektifitas berbagai kebijakan penting di sektor energi dan pemanfaatan lahan di seluruh dunia, terutama yang terkait dengan bidang keuangan. CPI bekerja di negara-negara di mana dampak kebijakan memiliki potensi tertinggi untuk membawa hasil yang berarti, termasuk Indonesia, Brasil, Cina, Eropa, India dan Amerika Serikat.
Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) didirikan pada tahun 2011, dan berada dibawah Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. PKPPIM berperan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan, serta menganalisa, mengevaluasi, mengkoordinasi, melaksanakan dan melakukan pemantauan terhadap isu-isu terkait pembiayaan perubahan iklim. PKPPIM juga menangani berbagai kerjasama di bidang ekonomi dan keuangan pada forum G20 dan forum multilateral lainnya.
Image Gallery
Untuk pertanyaan lebih lanjut, silakan menghubungi:
Nia Pratiwi
FleishmanHillard untuk Climate Policy Initiative dan Universitas Palangka Raya
Mobile: +62-21-831-7770
Email: Nia.Pratiwi@fleishman.com